Kamis, 25 Oktober 2012

Tee San Liong: Main Bola Itu Seperti Berdagang


Seorang pemain sepakbola harus mampu mengetrapkan sistem yang juga dianut di bidang perdagangan. Yakni menggunakan tenaga seefisien mungkin sehingga dapat menghasilkan gol-gol kemenangan sebanyak-banyaknya. Demikian pandangan Tee San Liong, mantan pemain bola dua sejoli tahun '50-an bersama Djamiat Dalhar, di tempat tinggalnya sekaligus sebagai toko roti milik adik perempuannya di Jember, Jawa Timur, baru-baru ini.

Lebih lanjut dikatakan, untuk mencapai hal tersebut setiap pemain perlu sekali memperhatikan skill temannya.

Diumpamakannya sendiri sewaktu ia membela tim nasional yaitu sebagai seorang pengontrol atau pengumpan bola dengan kepercayaan diri berbuat sesuatu ke mana sang kulit bundar tersebut harus dilanjutkan atau diakhiri. Dioperkan pada teman, digiring sendiri, atau diselesaikan secara jitu.

Apalagi dalam operan bola dan sebagai penyelesaian akhir itu terjadi di luar kemampuan di antara mereka sehingga terjadi kesalahpahaman, jangan saling menyalahkan. Sebaiknya didiskusikan dengan mitranya. "Pemain bola harus lebih banyak memakai otak kurang lebih 90 persen," kata San Liong yang berusia 70 tahun.



Singapura dan Hong Kong

Selama menjadi salah satu dari beberapa pahlawan di lapangan rumput, pengalaman yang paling berkesan adalah sewaktu mampu menjebolkan empat buah gol dalam satu pertandingan. Yakni ketika tim PSSI mengalahkan Singapura tahun 1951 dengan kedudukan akhir 6-0.

"Waktu itu saya berumur 25 tahun. Di antara yang ikut main adalah Djamiat, Bhe Ing Hien, Aang Witarsa, Soegiono, Saelan, dan Sidhi," tutur San Liong yang pernah membawa tim yunior Persij Jember masuk 4 besar bersama Jakarta, Medan, dan Sumbawa.

Menurut harian Hong Kong Post Herald terbitan tahun 1957, dan masih tersimpan rapi di almarinya, San Liong dijuluki the key man (pemain kunci) ketika melawan tim Hong Kong. Pemain lainnya: Van der Vin, Anas, Chairudin, Sidik, Sidhi, Kho Tiam Gwan, Ramang, Djamiat, Sugiono, dan Saelan. Tim PSSI menang 3-1 dengan penampilan gemilang di kandang lawan, padahal waktu itu Hong Kong paling kuat di Asia Tenggara.

"Sebelum bertanding kesebelasan Indonesia sering diejek dan diremehkan. Mereka kena batunya," kenang San Liong dengan bola mata berkaca-kaca.

Kencing Manis dan Mata

Bapak tanpa anak yang kini mempunyai berat badan 70 kg dan tinggi 172 cm ini seharusnya mengisi hari tuanya dengan aman dan lebih tenang. Akan tetapi kemujuran tersebut belum dapat diraihnya.

Kini ia harus bergelut melawan berbagai penyakit. Sudah 13 tahun ini ia mengidap penyakit kencing manis. Setiap 2-3 bulan sekali ia harus kontrol ke Surabaya pada Prof. DR. Dr. H. Askandar Tjokropawiro, ahli penyakit dalam yang pernah menangani Ny. Mulia, wanita bertubuh raksasa asal Kalimantan Selatan.

"Pak dokter ini sangat baik hanya karena kenal lewat sepakbola. Saya dibebaskan dari biaya. Senang sekali saya," ungkapnya bangga.

San Lion ternyata juga menderita penyakit pada kedua belah matanya. Dokter yang merawatnya adalah Bakri A. Syukur. Circinate eksudate, mikro aneurisma dan pendarahan retina di daerah makula. Demikian tertulis pada kemasan hasil foto matanya.

"Pada 1976 saya sudah kena. Tapi saya kurang tahu kalau mengidap penyakit yang namanya kencing manis. Semula berat badan saya ini 74 kg, merosot drastis menjadi tinggal 46 kg dalam hanya tiga hari saja," tutur San Lion.

"Memang penyakit ini keturunan orang tua. Juga disebabkan berhenti secara mendadak dari olahraga," sebutnya lagi sambil membetulkan kaca mata minusnya.

"Olahraga yang saya lakukan sekarang ya hanya sekedar jalan-jalan saja di depan toko setiap hari, sambil melayani bila ada pembeli datang," katanya seraya menunjuk tumpukan roti, kue, dan sejenisnya yang terjejer rapi di almari kaca.

Memang keadaan penyakit matanya mengakibatkan pandangannya tidak berubah, tetap kabur. "Untuk membaca dan melihat lebih dari 5 meter sudah tidak bisa," katanya.

Trio Keramat

"Trio Keramat", demikian tulis majalah mingguan Liberty dari Surabaya. San Liong, Ramang, dan Djamiat dalam Asian Games II di Manila dan Tour Hong Kong diesebut sebagai otak penyerangan, pembagi bol ayang jitu, pengatur siasat yang brilian, dan sebagai pengumpan yang mengagumkan.

Jika tidak dipasang dan hanya duduk sebagai penonton (cadangan) San Liong mudah marah sekali. Kemarahan tersebut bukan lantas disalurkan pada caci maki pada pelatih maupun pengurus teras PSSI. Ia menyalurkannya pada diri sendiri. Ia menjadikannya cambuk untuk mawas diri.

Upaya yang ditempuhnya adalah kerja keras dan tidak suka main belakang, yakni belajar dari kelemahannya. Di antaranya dengan berlatih tendang bola berjarak tembak terbatas. Bila berhasil, dilakukan lagi dengna jarak yang lebih jauh. Begitu seterusnya hingga gawang termasuki bola hasil sepakannya.

"Sewaktu saya membela Persebaya, dengan tembakan berjarak 30 meter bisa menghasilkan gol ke gawang Persija yang saat itu dijaga Van der Vin," katanya bangga.

Sewaktu melawan PS Ambon terjadi keributan. Para pemain berkelahi. Ia pun mneyadari anak muda mesti menyimpan emosi. Ia tidak mau meladeni aksi kekerasan tersebut dengan memacu langkah menuju ruang ganti.

"Saya tidak suka main rusuh," kilahnya sambil menyodorkan koran yang sudah menguning, dan tidak memuat kritikan pada dirinya. "Apalagi pada pemain yang suka manja, terlambat datang latihan, kurang disiplin, melakukan tendangan bersifat atraksi, dan sepakbola gajah," ujar San Liong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar